LAPORAN
PRAKTIKUM
EKOLOGI
UMUM
PERCOBAAN XI
PENDUGAAN POPULASI SATWA DAN ANALISIS HABITAT SATWA
NAMA : BASRAWATI DAMING
NIM : H41113311
KELOMPOK : VII (TUJUH) B
HARI/
TANGGAL : SELASA/ 04 MARET 2014
ASISTEN : YULIANI
SUCI MUSLIMAH
LABORATORIUM
ILMU LINGKUNGAN DAN KELAUTAN
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PNGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Satwa atau disebut juga
hewan, binatang dan
fauna adalah kelompok organisme yang diklasifikasikan dalam kerajaan (kingdom)
Animalia atau Metazoa. Hewan atau satwa, diklasifikasikan dalam 2 kelompok
besar yaitu hewan bertulang belakang (vertebrata) dan binatang tanpa tulang
belakang (avertebrata atau invertebrata). Indonesia mempunyai keanekaragaman fauna
yang sangat tinggi. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar
17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3%
dari luas daratan dunia. Indonesia
nomor
satu dalam hal
kekayaan
mamalia (binatang menyusui) yaitu lebih dari 515 jenis dan menjadi habitat dari
sekitar 1.539 jenis burung. Selain itu, sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di
Indonesia. Sayangnya,
Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang
satwa yang terancam punah (Ilyas, 2010).
Kepadatan
pupulasi satu jenis atau kelompok hewan dapat dinyatakan dalam dalam bentuk
jumlah atau biomassa per unit, atau persatuan luas atau persatuan volume atau
persatuan penangkapan. Kepadatan pupolasi sangat penting diukur untuk
menghitung produktifitas, tetapi untuk membandingkan suatu komunitas dengan
komnitas lainnya parameter ini tidak begitu tapat. Untuk itu biasa digunakan
kepadatan relative. Kepadatan relative dapat dihitung dengan membandingkan
kepadatan suatu jenis dengan kepadatan semua jenis yang terdapat dalam unit
tersebut. Kepadatan relative biasanya dinyatakan dalam suatu bentuk persentase (Suin, 1989)
Percobaan
ini dilakukan untuk mengetahui cara atau
metode pendugaan kepadatan populasi satwa dan mengetahui habitat satwa
tersebut.
I.2 Tujuan Percobaan
Tujuan
dari percobaan ini adalah :
1.
Mempelajari cara
melakukan sensus satwa liar yang ada di
habitatnya dengan metode line transects dan
poin count.
2.
Melakukan pengamatan
dan mengestimasi kepadatan populasi satwa di habitatnya.
3.
Mengetahui
tipe-tipe habitat satwa dan karakteristik habitat dan pengaruhnya terhadap
populasi satwa.
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan Pendugaan Populasi Satwa dan Analisis Habitat
Satwa dilakukan pada hari selasa, 18 April 2014, pada pukul 14.00-16.00 WITA,
bertempat di Laboratorium Biologi Dasar, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengambilan sampel
dilaksanakan pada hari sebtu, 18 April 2014
pukul 06.00-07.30 WITA dan pukul 16.00-17.30 WITA bertempat di Pascasarjana sampai di
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia
merupakan salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di
dunia bahkan oleh pakar dunia dikatakan sejajar dengan negara Brasil di benua
Amerika dan Zaire di benua Afrika. Apabila ketiga negara disatukan maka jumlah
keanekaragaman hayatinya lebih dari 50% dari kekayaan dunia. Keanekaragaman
yang ada seperti satwa liar merupakan aset negara indonesia yang perlu dijaga
dan dilestarikan karena merupakan salah satu mata rantai penting yang saling
berkaitan antara ekosistem satu dengan ekosistem yang lain (Wanggai, 2009).
Keanekaragaman
hayati Indonesia memiliki 10% tumbuhan
berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibi,
17% burung, 25% ikan dan 15% serangga. Dalam
dunia satwa Indonesia juga mempunyai tingkat endemisitas yang cukup istimewa,
sekitar 500-600 jenis mamalia besar, 36% endemik; 35 jenis primata, 25%
endemik; 78 jenis paruh bengkok, 40% endemik; dan dari 212 jenis kupu-kupu, 44%
endemik. Keanekaragaman hayati Indonesia
inilah yang saat ini hampir menyamai dengan Brazil dan Kolombia yang terkenal
dengan keanekaragaman hayatinya (Hidhayat, 2005).
Pada tahun 2003, World Conservation Union
mencatat 147 spesies mamalia, 114 burung, 91
ikan dan 2 invertebrata termasuk dalam hewan-hewan yang terancam punah Pengelolaan satwa liar
adalah ilmu dan seni dalam mengendalikan karakteristik habitat dan populasi
satwa liar serta aktivitas manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Ilyas, 2010).
Ekologi Satwa adalah
cabang ilmu biologi yang khusus mempelajari interaksi antara satwa dengan
lingkungannya, yang menentukan sebaran (distribusi) dan kelimpahan satwa-satwa.
Lingkungan tersebut adalah segala sesuatu yang ada di sekitarnya yaitu lingkungan
biotik maupun abiotik. Sasaran utama
ekologi satwa adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi
kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang
ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor
penting yang menyebabkan keberhasilan maupun ketidakberhasilan
organisme-organisme dan ekosistemnya dalam mempertahankan keberadaannya.
Ekologi satwa bagi manusia cukup penting artinya dalam memberi nilai-nilai
terapan dalam kehidupan manusia (Naughton,
1973).
Populasi
memiliki beberapa karakteristik berupa pengukuran statistik yang tidak dapat
diterapkan pada individu anggota populasi. Karakteristik dasar populasi adalah
besar populasi atau kerapatan. Kerapatan populasi ialah ukuran besar populasi
yang berhubungan dengan satuan ruang, yang umumnya diteliti dan dinyatakan
sabagai cacah individu atau biomassa per satuan luas per satuan isi. Kadang
kala penting untuk membedakan kerapatan kasar dari kerapatan ekologik
(kerapatan spesifik). Kerapatan kasar adalah cacah atau biomassa persatuan
ruang total, sedangkan kerapatan ekologik adalah cacah individu biomassa
persatuan ruang habitat. Dalam kejadian yang tidak praktis untuk menerapkan
kerapatan mutklak suatu populasi. Dalam pada itu ternyata dianggap telah cukup
bila diketahui kerapan nisbi suatu populasi (Southwood, 1971).
Cara
untuk mengetahui jumlah atau kepadatan populasi dapat dilakukan dengan banyak
metode tergantung dengan keadaan sekitarnya. Salah satu metode yang paling
akurat untuk mengetahui kepadatan populasi di suatu wilayah adalah dengan
melakukan sensus. Tetapi kendala dari diadakannya sensus adalah lokasi
penelitian. Misalnya jika penghitungan sensus dengan lokasinya berada di hutan
terbuka dengan hewan liar seperti ular yang akan dihitung kerapatan
populasinya. Pergerakan hewan yang akan dihitung juga mempengaruhi keakuratan
sensus (Zulkifli, 1996).
Secara umum tujuan pengelolaan
satwa liar (Ilyas,
2010) yaitu :
1. Mempertahankan keanekaragaman spesies.
2. Memanfaatkan jenis satwa liar tertentu secara berkelanjutan
1. Mempertahankan keanekaragaman spesies.
2. Memanfaatkan jenis satwa liar tertentu secara berkelanjutan
Perhitungan
populasi baik untuk hewan maupun tumbuhan dapat dilaksanakan dengan dua cara
yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung yaitu dengan
perkiraan besarnya populasi sedemikian rupa sesuai dengan sifat hewan atau
tumbuhan yang akan dihitung. Misalnya untuk menghitung sampling populasi rumput
di padang rumput dapat digunakan metode kuadarat rumput, untuk hewan-hewan
besar dapat dilakukan dengan metode track count atau fecal count, sedangkan untuk
hewan yang relatif mudah ditangkap misalnya tikus, belalang atau burung dapat
diperkirakan populasinya dengan metode capture mark release recapture (CMRR)
(Southwood,1971).
Adapun
manfaat pengelolaan satwa (Susanto, 2000) yaitu :
1. Pengelolaan satwa liar adalah ilmu dan seni
dalam mengendalikan karakteristik habitat dan populasi satwa liar serta
aktivitas manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan
pengelolaan satwa liar adalalah :
Mempertahankan
keanekaragaman spesies.
2. Memanfaatkan jenis satwa liar tertentu
secara berkelanjutan.
Pengelolaan satwa liar merupakan kegiatan manusia
dalam mengatur populasi dan habitatnya serta interaksi antara keduanya untuk
mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Pengelolaan satwa liar
sebagai ilmu yang mengatur satwa liar beserta habitatnya agar diperoleh keadaan
populasi yang lestari.
Populasi
satwa liar selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti fluktuasi
lingkungannya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi (parameter).
1.
Angka kelahiran
Angka
kelahiran, disebut juga potensi perkembangbiakan yang nilainya ditentukan oleh
faktor-faktor : perbandingan komposisi kelamin dan kebiasaan kawin.
2.
Angka kematian
Angka
kematian adalah jumlah kematian individu dalam suatu populasi untuk suatu
periode waktu tertentu, hal ini disebabkan oleh faktor : faktor yang secara
langsung dapat mematikan/mengurangi populasi satwa seperti pemangsaan,
perburuan, penyakit kelaparan dan kecelakaan dan lain-lain.
3.
Kepadatan populasi
4.
Struktur umur dan struktur kelamin
Burung adalah anggota
kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap.
Fosil tertua burung ditemukan di Jerman dan dikenal sebagai Archaeopteryx. Jenis-jenis burung
begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil mungil hingga burung
unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat sekitar 8.800 –
10.200 spesies burung di seluruh dunia; sekitar 1.500 jenis di antaranya
ditemukan di Indonesia. Berbagai jenis burung ini secara ilmiah digolongkan ke
dalam kelas Aves. Burung adalah salah satu jenis sawta yang terdapat di
Indonesia, khususnya di kawasan hutan
(Ilyas, 2008).
Seni
mengamati burung adalah pada kesabaran dan daya tahan fisik kita. Tujuan kita
mengamati burung adalah untuk mengenal jenis-jenis burung dan kehidupannya antara
lain ciri-ciri tubuh, habitat tempat tinggal dan tingkah laku serta gerak
geriknya. Burung adalah hewan yang aktif, riang dan tak kenal diam maka sangat sulit bagi kita untuk mengamati
tanpa merekam atau mencatat hal-hal yang telah dilihat (Ilyas, 2008).
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat
Alat-alat
yang digunakan dalam percobaan ini adalah alat tulis menulis dan stopwatch
(Handphone).
III.2 Bahan
Bahan
yang diperlukan untuk percobaan ini adalah satwa liar berupa primata, burung dan
hewan herbivore sebagai sampel yang akan di amati.
III.3 Metode Percobaan
III.3.1 Prosedur Kerja di Lapangan
A. Metode
IPA (Index Point of Abudance)
Cara
kerja pada percobaan ini adalah :
1. Pertama, areal yang akan diamati
populasinya ditentukan, kemudian dilakukan penghitungan dan pengamatan hewan burung pada lokasi tersebut.
2. Pada percobaan ini yang akan diperhatikan
populasinya adalah burung sehingga perhitungan dilakukan dengan cara menghitung
burung yang lewat dan mengenal dari suaranya.
3. Pengamatan dan pencatatan dilakukan di
sekitar Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
4. Di catat
nama burung yang telah diketahui jenis dan suaranya.
B. Metode Line-Transect
Cara
kerja pada percobaan ini adalah :
1.
Pertama, areal
yang akan diamati populasinya ditentukan, kemudian dilakukan
penghitungan dan pengamatan hewan burung pada lokasi tersebut.
2. Pengamatan dilakukan dengan cara berjalan di
sepanjang daerah yang telah ditentukan.
3. Di catat jenis dan jumlah burung yang
ditemukan di sepanjang daerah tersebut.
III.3.2 Prosedur Percobaan di Laboratorium
A. Metode IPA (Index Point of Abudance)
Cara
kerja pada percobaan ini adalah :
Dilakukan
perhitungan pendugaan populasi satwa berdasarkan yang telah diperoleh
dilapangan dengan menggunakan Metode IPA
dengan rumus :
P Aj =
Keterangan
:
P
Aj = Kelimpahan populasi pada titik pengamatan ke-j (individu/km²)
Xi = Jumlah individu yang dijumpai pada kontak
ke-1 selama periode tertentu
r = Luas plot (lingkaran =
B. Metode Line Transect
Cara
kerja pada percobaan ini adalah :
Dilakukan
perhitungan pendugaan populasi satwa berdasarkan yang telah diperoleh
dilapangan dengan menggunakan Metode Line Transect dengan rumus:
P
= D.A
D
=
Dj =
Keterangan:
D
= Kepadatan populasi
P
= Populasi dugaan (individu)
A
= Luas wilayah pengamatan (km²)
Xi
= Jumlah individu pada kontak ke-1
Lj
= panjang transect jalur
dj
= rata-rata lebar kiri atau kanan jalur ke-j (m)
BAB
IV
HASIL
DAN PEMABAHASAN
IV. 1 Hasil
IV.1. 1 Tabel
Pengamatan Metode IPA (Index Point of Abudance) Pagi Hari
No
|
Nama Jenis Species
|
Family
|
Jumlah
|
Jarak Pengamatan (meter)
|
1
|
Suara (Burung Cekakak)
|
–
|
20
|
|
2
|
Burung Gereja
|
2
|
20
|
|
3
|
Burung Pipit
|
4
|
20
|
|
4
|
Burung Pipit
|
1
|
30
|
|
5
|
Burung Pipit
|
2
|
30
|
|
6
|
Burung Pipit
|
3
|
15
|
|
7
|
Burung Pipit
|
2
|
20
|
|
8
|
Burung Pipit
|
2
|
20
|
|
9
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
10
|
Burung Pipit
|
3
|
15
|
|
11
|
Burung Layang
|
1
|
30
|
|
12
|
Burung Layang
|
1
|
35
|
|
13
|
Burung Kekep
|
1
|
20
|
|
14
|
Burung Pipit
|
2
|
15
|
|
15
|
Burung Layang
|
2
|
20
|
|
16
|
Burung Cekakak
|
1
|
15
|
|
17
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
18
|
Burung Pipit
|
2
|
10
|
|
19
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
20
|
Burung Pipit
|
1
|
15
|
|
21
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
22
|
Burung Cui-Cui
|
2
|
15
|
|
23
|
Burung Cui-Cui (Di pohon jati)
|
2
|
10
|
|
24
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
25
|
Burung Layang
|
2
|
20
|
|
26
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
27
|
Burung Pipit
|
2
|
25
|
|
28
|
Burung Gereja
|
1
|
20
|
|
29
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
30
|
Burung Pipit
|
1
|
20
|
|
31
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
32
|
Burung Gereja
|
1
|
15
|
|
33
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
34
|
Burung Layang
|
2
|
30
|
|
35
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
36
|
Burung Merpati
|
1
|
20
|
|
37
|
Burung Cui-Cui
|
5
|
25
|
|
38
|
Burung Kutilang
|
2
|
20
|
|
39
|
Burung Layang
|
1
|
30
|
|
40
|
Burung Layang
|
2
|
25
|
|
41
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
42
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
43
|
Burung Pipit
|
2
|
15
|
|
45
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
46
|
Burung Kutilang
|
2
|
15
|
|
47
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
20
|
|
48
|
Burung Layang
|
3
|
15
|
|
49
|
Burung Cui-Cui
|
2
|
15
|
|
50
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
51
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
52
|
Burung Gereja
|
2
|
15
|
|
53
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
54
|
Burung Gereja
|
2
|
15
|
|
55
|
Bangau Hitam
|
2
|
30
|
|
56
|
Bangau Putih
|
2
|
30
|
|
57
|
Burung Pipit
|
1
|
15
|
|
58
|
Burung Layang
|
2
|
30
|
|
59
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
60
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
61
|
Burung Layang
|
3
|
20
|
|
62
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
63
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
64
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
65
|
Burung Layang
|
3
|
20
|
|
66
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
67
|
Suara (Burung Cekakak)
|
–
|
15
|
|
68
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
69
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
|
70
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
20
|
|
71
|
Burung Gereja
|
1
|
20
|
|
72
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
25
|
|
73
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
IV.1. 2 Tabel
Pengamatan Metode IPA (Index Point of Abudance) Sore Hari
No
|
Nama Jenis Species
|
Family
|
Jumlah
|
Jarak Pengamatan
|
1
|
Bangau Hitam
|
1
|
15
|
|
2
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
3
|
Burung Layang
|
2
|
25
|
|
4
|
Burung Layang
|
4
|
20
|
|
5
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
25
|
|
6
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
25
|
|
7
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
8
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
9
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
10
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
20
|
|
11
|
Burung Gereja
|
3
|
15
|
|
12
|
Burung Cui-Cui
|
4
|
20
|
|
13
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
14
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
15
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
16
|
Burung Layang
|
22
|
25
|
|
17
|
Burung Layang
|
9
|
15
|
|
18
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
19
|
Burung Layang
|
6
|
15
|
|
20
|
Burung Gereja
|
1
|
15
|
|
21
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
22
|
Burung Cui-Cui
|
2
|
25
|
|
23
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
24
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
25
|
Burung Layang
|
3
|
25
|
|
26
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
27
|
Burung Layang
|
3
|
15
|
|
28
|
Burung Cui-Cui
|
2
|
15
|
|
29
|
Burung Kekep
|
1
|
20
|
|
30
|
Burung Gereja
|
1
|
15
|
|
31
|
Burung Pipit
|
1
|
20
|
|
32
|
Burung Layang
|
5
|
15
|
|
33
|
Burung Cui-Cui
|
4
|
15
|
|
34
|
Burung Pipit
|
4
|
15
|
|
35
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
36
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
37
|
Burung Layang
|
1
|
10
|
|
38
|
Burung Pipit
|
1
|
20
|
|
39
|
Burung Pipit
|
1
|
25
|
|
40
|
Burung Layang
|
2
|
20
|
|
41
|
Burung Layang
|
2
|
30
|
|
42
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
43
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
45
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
46
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
47
|
Burung Layang
|
2
|
20
|
|
48
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
|
49
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
|
50
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
51
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
52
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
53
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
|
54
|
Burung Layang
|
3
|
10
|
|
55
|
Burung Layang
|
3
|
15
|
|
56
|
Burung Layang
|
3
|
20
|
|
57
|
Burung Layang
|
2
|
25
|
|
58
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
20
|
|
59
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
|
60
|
Burung Pipit
|
4
|
25
|
|
61
|
Burung Layang
|
3
|
25
|
|
62
|
Burung Pipit
|
1
|
15
|
|
63
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
|
64
|
Burung Layang
|
5
|
20
|
|
65
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
66
|
Burung Layang
|
3
|
20
|
|
67
|
Burung Cekakak
|
2
|
15
|
|
68
|
Burung Layang
|
15
|
15
|
|
69
|
Burung Layang
|
6
|
15
|
|
70
|
Burung Layang
|
6
|
25
|
|
71
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
72
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
|
73
|
Burung Kutilang
|
1
|
15
|
|
74
|
Burung Gereja
|
1
|
20
|
|
75
|
Burung Layang
|
1
|
15
|
|
76
|
Burung Layang
|
5
|
10
|
|
77
|
Burung Pipit
|
2
|
15
|
IV.1. 3 Tabel Pengamatan Metode Line
transek (Transek Garis)
No
|
Nama Jenis Species
|
Family
|
Jumlah
|
Jarak Pengamatan
|
Jarak Pengamatan dari Titik 0
|
1
|
Sapi
|
6
|
10
|
45 ͦ
|
|
2
|
Kucing
|
1
|
5
|
180 ͦ
|
|
3
|
Burung Gereja
|
4
|
5
|
30 ͦ
|
|
4
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
30 ͦ
|
|
5
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
45 ͦ
|
|
6
|
Burung Gereja
|
3
|
15
|
90 ͦ
|
|
7
|
Burung Gereja
|
3
|
10
|
45 ͦ
|
|
8
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
45 ͦ
|
|
9
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
20
|
30 ͦ
|
|
10
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
20
|
30 ͦ
|
|
11
|
Kucing
|
1
|
30
|
90 ͦ
|
|
12
|
Burung Pipit
|
2
|
9
|
45 ͦ
|
|
13
|
Burung Gereja
|
1
|
10
|
30 ͦ
|
|
14
|
Burung Layang
|
1
|
45
|
90 ͦ
|
|
15
|
Burung Layang
|
1
|
10
|
45 ͦ
|
|
16
|
Burung Layang
|
1
|
10
|
30 ͦ
|
|
17
|
Burung Layang
|
2
|
25
|
30 ͦ
|
|
18
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
30 ͦ
|
|
19
|
Burung Layang
|
1
|
10
|
30 ͦ
|
|
20
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
30 ͦ
|
|
21
|
Burung Pipit
|
1
|
5
|
45 ͦ
|
|
22
|
Burung Cui-Cui
|
3
|
10
|
45 ͦ
|
|
23
|
Burung Layang
|
3
|
10
|
90 ͦ
|
|
24
|
Burung Kutilang
|
3
|
20
|
90 ͦ
|
|
25
|
Burung Layang
|
2
|
10
|
30 ͦ
|
|
26
|
Burung Cui-Cui
|
1
|
15
|
45 ͦ
|
|
27
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
30 ͦ
|
|
28
|
Burung Layang
|
1
|
20
|
30 ͦ
|
|
29
|
Burung Layang
|
1
|
25
|
30 ͦ
|
|
30
|
Burung Layang
|
2
|
15
|
30 ͦ
|
|
31
|
Burung Kutilang
|
3
|
10
|
90 ͦ
|
|
32
|
Burung Gereja
|
5
|
10
|
90 ͦ
|
|
33
|
Burung Kutilang
|
1
|
15
|
45 ͦ
|
|
34
|
Burung Layang
|
1
|
10
|
45 ͦ
|
|
35
|
Burung Pipit
|
1
|
5
|
30 ͦ
|
|
36
|
Burung Gereja
|
4
|
10
|
30 ͦ
|
|
37
|
Burung Gereja
|
3
|
5
|
30 ͦ
|
|
38
|
Burung Kutilang
|
3
|
10
|
90 ͦ
|
|
39
|
Burung Tekukur
|
1
|
7
|
180 ͦ
|
|
40
|
Burung Kutilang
|
1
|
8
|
90
|
IV.1. 2 Analisa Data
a. Metode IPA (Indeks
point of abudence) di pagi hari
P Aj =
P
Aj =
P
Aj =
= 0.014
Jadi
indeks kepadatan populasinya yaitu 0,014
b.
Metode IPA (Indeks point of abudence) di sore hari
P
Aj =
P
Aj =
P
Aj =
=
0,024
Jadi
indeks kepadatan populasinya yaitu 0,024
c.
Metode Line transect (Transek garis) di sore
hari
P
= D.A
= 8,41 .
50.000
= 420.500
A
= P.L
= 50. 500
= 50.000
D
=
=
=
= 8,41
Jadi indeks kepadatan populasinya yaitu : 8,41
dj =
=
=
=
1,53
IV. 2 Pembahasan
Dalam percobaan ini, digunakan dua
metode untuk menduga populasi satwa liar di habitatnya di alam. Metode yang digunakan yaitu indeks IPA
dan metode Line Transet. Pada
dasarnya metode transek garis hampir sama dengan metode transek jalur, langkah
yang dilakukan pun juga sama dengan metode transek jalur, namun perbedaan mendasar
adalah tidak ditentukannya jarak ke kanan dan ke kiri, jarak antara satwa
dengan pengamat ditentukan, dan sudut kontak
antara satwa yang
terdeteksi dengan jalur
pengamatan harus di
catat.
Metode Line Transect adalah metode yang
umumnya digunakan untuk sensus
dimana
pengamat berjalan sepanjang garis transek dan mencatat setiap jenis satwa
liar yang dilihat, baik jumlah maupun jaraknya dari
pencatat. Adapun metode IPA merupakan metode pengamatan burung dengan mengambil
sampel dari komunitas burung untuk dihitung dalam waktu dan lokasi tertentu.
Pengamatan dilakukan dengan berdiri pada titik tertentu pada habitat yang
diteliti kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung dalam tentang waktu
tertentu.
Kedua
metode di atas digunakan untuk menghitung pendugaan populasi satwa liar, dimana
rumus yang digunakan dengan cara membagi juumlah individu yang didapatkan pada
saat pengambilan data dan membaginya dengan luas wilayah pengamatan. Pada
metode IPA pada waktu pagi hari diperoleh jumlah individu satwa liar yaitu 8 individu dengan luas wilayah 7.850 m2, sedangkan pada waktu sore hari
diperoleh jumlah individu satwa liar sebanyak 8
individu dengan luas wilayah yang sama yaitu 7.850
m2. Sedangkan pada metode Line
Transect jumlah individu satwa liar pada sore hari yaitu 8
individu dengan luas wilayah 50 m2.
Setelah
melakukan perhitungan menggunakan metode IPA dan metode Line Transect maka didapatkan hasil untuk metode IPA pada pagi
hari, indeks kelimpahan populasinya yaitu sebesar 0,014, sedangkan pada waktu sore hari sebesar 0,024. Sedangkan pada metode Line Transect pada sore hari indeks kelimpahan populasinya yaitu
sebesar 8,41.
Dari
hasil perhitungan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara kedua metode yang digunakan serta waktu pengambilan sampel pada waktu
pagi dan sore hari. Indeks kelimpahan populasi satwa liar ang didapatkan dengan
menggunakan indeks IPA lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan metode Line Transect, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor,
seperti luas wilayah pengamatan yang lebih kecil maupun letak wilayah yang lebih rindang ataupun lebih terbuka. Adapun
perbedaan yang mencolok antara indeks kelimpahan populasi pada waktu pagi dan
sore hari dapat disebabkan karena, pada pagi hari, satwa liar cenderung untuk
keluar dari sarangnya dan mulai untuk mencari makan, sedangkan pada waktu sore
hari satwa-satwa liar berbondong-bondong untuk kembali kesarangnya/rumahnya
untuk beristirahat.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan
percobaan ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam
percobaan ini, digunakan dua metode untuk menduga populasi satwa liar di habitatnya di alam. Metode yang digunakan yaitu indeks IPA
dan metode Line Transet. Pada
dasarnya metode transek garis hampir sama dengan metode transek jalur, langkah
yang dilakukan pun juga sama dengan metode transek jalur, namun perbedaan
mendasar adalah tidak ditentukannya jarak ke kanan dan ke kiri, jarak antara
satwa dengan pengamat ditentukan, dan sudut kontak antara
satwa yang terdeteksi
dengan jalur pengamatan
harus di catat.
2.
Pada
metode IPA pada waktu pagi hari diperoleh jumlah individu satwa liar yaitu 8 individu dengan luas wilayah 7.850 m2, sedangkan pada waktu sore hari
diperoleh jumlah individu satwa liar sebanyak 8
individu dengan luas wilayah yang sama yaitu 7.850
m2. Sedangkan pada metode Line
Transect jumlah individu satwa liar pada sore hari yaitu 8
individu dengan luas wilayah 50 m2. Setelah
melakukan perhitungan menggunakan metode IPA dan metode Line Transect maka didapatkan hasil untuk metode IPA pada pagi
hari, indeks kelimpahan populasinya yaitu sebesar 0,014, sedangkan pada waktu sore hari sebesar 0,024. Sedangkan pada metode Line Transect pada sore hari indeks kelimpahan populasinya yaitu
sebesar 8,41.
3.
Dari
hasil perhitungan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara kedua metode yang digunakan serta waktu pengambilan sampel
pada waktu pagi dan sore hari. Indeks kelimpahan populasi satwa liar ang
didapatkan dengan menggunakan indeks IPA lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan metode Line Transect, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor,
seperti luas wilayah pengamatan yang lebih kecil maupun letak wilayah yang lebih rindang ataupun lebih terbuka.
V.2 Saran
Dalam melakukan percobaan ini
diperlakukan ketelitian dan kecermatan agar percobaan atau hasil percobaannya
tidak menyimpang.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat,
E.B., 1995, Anatomi Tumbuhan Berbiji, Bandung,
Institut Teknologi Bandung Press.
Ilyas, 2008, pengamatan-burung,
http://garudapala.blogspot.com, Diakses tanggal 29 Maret 2014, pukul 14.00 WITA.
Ilyas, 2010, satwa,
http://alamendah.wordpress.com/. Diakses tanggal 29 Maret 2014, pukul 14.00 WITA.
Naughhton, 1973, Ekologi
Umum edisi Ke 2, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Suin, N. M.,
1989, Ekologi Hewan Tanah, Bumi
Aksara, Jakarta.
Southwood, 1971,
Ekologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
Susanto, P., 2000,
Ekologi Hewan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Zulkifli, H., 1996, Biologi Lingkungan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Wanggai, F. 2009, Manajemen
Hutan, Grasindo, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar